Menjaga Sulit Tapi Melepas Lebih Tidak Mudah


Pagi itu terasa berbeda. Matahari baru saja naik malu-malu di balik pepohonan, tapi hati sudah berat sejak subuh. Kulihat anakku berdiri di ambang pintu, memakai baju putih yang baru disetrika rapi ibunya semalam, menenteng seplastik buku ditangan kanan dan ember biru berisi perlengkapan mandi ditangan kiri. Menenteng dengan gagah, seolah sedang membawa bekal menuju medan perang. Di wajahnya ada semangat, tapi juga ada gugup yang tak bisa ia sembunyikan. Aku ingin tersenyum, tapi dada ini justru terasa sesak seperti ada yang mencengkeram dari dalam.

Farrel Tsaqib Arkan, lelaki tampan yang dulu selalu berlari ke pelukanku setiap kali aku pulang kerja, kini bersiap pergi bukan untuk beberapa jam, tapi bermalam di tempat yang jauh dari rumah. Kupandangi wajahnya saat ia mencium tangan ibunya dan memelukku dengan erat, lebih erat dari biasanya. Aku menahan air mata, karena ayah tak boleh terlihat lemah, katanya. Tapi bagaimana mungkin aku tidak menangis, ketika hatiku terasa seperti direnggut pelan-pelan? Aku tahu, ini untuk masa depannya. Aku tahu, ini bentuk ikhtiar agar ia tumbuh menjadi anak yang kuat, berilmu, dan berakhlak. Tapi tahu saja tak cukup untuk menenangkan hati seorang ayah yang akan melepas sebagian jiwanya pergi.

Aku teringat puluhan tahun lalu, saat aku seusianya dan juga membawa ember ke asrama pesantren. Dulu aku juga takut, aku juga menangis diam-diam di bawah selimut malam. Tapi pesantren mengajariku banyak hal, tentang sabar, tentang ikhlas, tentang bagaimana hidup tak selalu nyaman tapi selalu bermakna. Dari pesantren pula aku belajar menjadi lelaki yang tidak hanya kuat fisik, tapi juga kuat hati. Dan kini, anakku akan menapaki jalan yang sama. Jalan yang berat di awal, tapi penuh cahaya di ujungnya. Aku percaya, dia akan menemukan jati dirinya di sana, seperti aku dulu.

Di dalam mobil aku diam lebih banyak. Sambil mengemudi aku mencuri pandang dari spion. Ia duduk tenang di belakang, melihat keluar jendela, mungkin membayangkan seperti apa kehidupan barunya nanti. Aku ingin bertanya, "Kamu takut?" tapi takut juga mendengar jawabannya. Ketika kami sampai dan kulihat ia membawa sendiri ember dan tas ke asrama, seolah berkata, "Aku siap, Bah," hatiku pecah diam-diam. 

Aku menahan air mata, seperti dulu papah menahan air mata saat melepas aku. Kini aku mengerti, bukan hanya anak yang belajar, tapi orang tua pun sedang diuji hatinya.

 Malam hari rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Tidak ada suara tawa kecilnya, tidak ada kejahilan yang dibalas teriakan "Abah kakak Farrel ganggu adek" dari Nashwa, Hanna atau Jena, ketiga adiknya. 

Aku duduk di kursi yang biasa ia duduki, memandangi fotonya di galeri ponsel. Rindu datang seperti gelombang, menabrak tanpa permisi. Disudut ruang tamu istriku menenangkan Nashwa adik pertama Farrel, yang menangis karena merindukan Kakaknya, tak ada lagi kejar-kejaran sebelum tidur diantara mereka, malam itu sepi dari biasanya. 

Semoga ia kuat, semoga ia bahagia, se


moga semua lelah dan rindunya kelak berbuah manis. Karena menjadi ayah, ternyata bukan soal menjaga selamanya, tapi juga tentang belajar melepaskan... dengan penuh cinta dan keyakinan.

0 Komentar