Kisah Maknyuss-nya Mie Aceh dan Arabica Gayo

Maknyuss
Malam terakhir di Bengkulu, tidak banyak yang dilakukan. Saya hanya beristirahat melepas lelah setelah seharian menyambangi tempat wisata di Bumi Raflesia. 
Belum puas menanti ngantuk, Koko tiba-tiba saja meracuni saya untuk keluar hotel dan mendatangi Warung Kopi Rumoh Atjeh, tempat nongkrong sekaligus makan yang pada malam sebelumnya batal kami tongkrongi.
Awalnya saya cukup teguh memperjuangan Mager saya dengan guling-gulingan manja diatas kasur apalagi suasana  diuar hotel sedang gerimis. tapi iming-iming koko tentang lezatnya mie aceh berhasil memunculkan sesi kompromi didalam batin. Hingga akhirnya kamipun berangkat.

Welcoming Cake "Kue Timpan"
Saat memasuki warkop nuansa hangat dari interior ruangan langsung menyambut kami, ini seolah menjawab perjuangan kami diterpa gerimis untuk sampai ke tempat ini. Saat tiba Kami berdua masih harus berjalan hingga kebaris kursi paling ujung. Beberapa meja memang sudah terisi dan sebagian ada yang tengah dibersihkan.

Belum lama kami duduk pelayan warkop langsung mengantarkan list menu dan sepiring kecil kue Timpan. Terus terang ini kali pertama saya bertemu dengan kuliner khas Aceh dan butuh sedikit proses untuk mengenali kue ini. Semuanya terjawab saat saya bertanya kepada pelayan yang cukup ramah meladeni rasa penasaran saya.
"Welcoming Cake"
Kue khas Aceh yang banyak ditemui saat Lebaran ini terbuat dari tepung ketan dengan isian srikaya. Awalnya saya kira kue hangat yang disajikan ini adalah lemper atau lontong isi. Apalagi sama-sama dibungkus dengan daun pisang. Bedanya daun pisang Kue Timpan lebih mengkilat dan lentur. Pada gigitan pertama  kue ini terasa manis dan kenyal. Aroma ketan begitu terasa saat dikunyah meski sesekali harus hilang karena bercampur srikaya. Memang rasanya tidak asing tapi saya awam memadankan kue ini dengan banyak kue serupa yang pernah saya nikmati.
Srikaya Dibalut Tepung Ketan
Hingga akhirnya kami pastikan apa yang harus dipesan. Koko masih dengan menu yang diburunya yaitu mie aceh kuah udang, dan saya juga ikut memesan mie aceh kuah daging dan segelas kopi arabica gayo Vietnam drip.
Saya masih asik mengunyah Kue Timpan dengan seksama. Lumayan untuk membunuh bosan menunggu pesanan yang alhamdulillah datang tidak begitu lama. Khawatir saja kejadian memesan ayam BBQ di salah satu cafe depan fort malborough kembali terjadi. Disitu saya harus menunggu satu jam untuk bisa menerima pesanan dan terpaksa saya cancel karena kecewa.

Mie Aceh Kuah Daging
Sejak awal kedatangannya saja aroma rempah nusantara langsung terasa. Mie yang berenang dikuah kari panas ini begitu indah tersaji diatas meja. Belum lagi kopi arabica gayo Vietnam drip yang bersanding disebelahnya.
Selamat bergoyang kembali wahai sang lidah gumam saya. Selamat menjelajahi resep khas Nangroe Aceh (meski saat itu kami ada di Bengkulu) yang tertuang dalam seporsi Mie Aceh Kuah daging. Tidak lupa perasan jeruk nipis saya campurkan, dengan harapan asam jeruknya menyegarkan sesi makan malam kami saat itu.
Pesanan tiba
Leps, suapan pertama. Kunyahan mie terasa hangat dimulut, gurih dengan kombinasi asam dari jeruk kunci. Mie tebalnya begitu kenyal dan ringan. Kaldu kari yang dipadukan dengan aneka rempah nusantara terasa lengkap dilidah. Semuanya tercampur pas menghasilkan citarasa khas nan identik.
Mie Aceh Maknyuss
Suasana gerimis dan dingin saat itu seolah mendukung kami untuk melanjutkan suapan demi suapan. Koko masih mengunyah sambil membandingkan citarasa Mie aceh yang dulu sempat disantapnya saat di Medan. Untuk pengalaman pertama menyantap Mie Aceh, saya lumayan puas.


Terjebak Rasa Arabica Gayo 
Gelas disajikan lengkap dengan vietnam drip-nya, lagi-lagi untuk pertama kalinya disuguhkan kopi dengan cara ini. Menarik perhatian terlebih bagi Koko. 
Dari bentuknya, Vietnam drip yang digunakan memang terbilang sederhana, hanya ada saringan bawah dan tutup saja. Dari awal disajikan saya masih harus menunggu kopi ini menetes sedikit demi sedikit kedalam gelas.
Vietnam Drip, hanya ada saringan dan penutup saja
Cukup berani memesan kopi Arabica Gayo tanpa susu, karena saya pikir rasanya akan sama saja dengan kopi  yang pernah saya minum diwarkop yang ada di Bangka Belitung.
Tapi ternyata eh ternyata Rasanya berbeda, kopi jenis ini lebih pahit saat diminum, pahitnya begitu pekat dimulut bercampur asam ditengah lidah. Awalnya saya tidak yakin dengan selera kopi yang saya minum saat itu. Maklum bukan penikmat kopi sejati, saya hanya peminum kopi instan dan sasetan itu pun jarang-jarang.
Cara unik nikmatin kopi
Dengan referensi minim yang saya miliki tentang kopi. Saya pun mencoba terus menikmati kopi yang saya pesan. Sayangkan, jika menyisakan banyak digelas.
Yang membuat rasa kopi ini berbeda adalah jenis kopi dan model penyajiannya. Dari jenisnya Arabica Gayo dan disaring dengan Vietnam drip kopi yang saya minum memang pahit dan asam. Dua saset gula yang saya tuangkan bahkan tidak merubah rasa dari kopi itu. Saya coba kembali tawari Koko untuk mencicipi kopi ini. Tapi lagi-lagi Koko menolak dengan rasa yang menjadi alasannya.
Masa tenang, saat kenyang

Cozy space


Saya fikir butuh waktu lama untuk menghabiskan segelas kopi Arabica ini terlebih saya bukan pencinta kopi pekat yang pahit. Tapi segelas kopi yang disajikan cukup menjadi kombinasi pas bagi kami dalam mengisi malam terakhir di kota Bengkulu, suatu saat saya harus mencoba Arabica Gayo dengan campuran susu yang konon menjadi minuman has dari orang-orang Vietnam. Dan suatu saat juga semoga bisa makan mie aceh di tempat asalnya yaitu di Aceh.

0 Komentar